Sengkarut Pembebasan Lahan di Wilayah Konsesi PT Masmindo

 

Kabardedikan.com, Luwu – Cones, warga Desa Rante Balla, Kecamatan Latimojong, bersama keluarganya tak bisa berbuat banyak ketika menyaksikan pohon cengkehnya ditebang oleh pihak PT Masmindo Dwi Area (MDA). Kejadian itu terekam dalam sebuah video amatir dan kemudian viral di media sosial belum lama ini.

Konflik pembebasan lahan antara warga dan PT Masmindo Dwi Area telah berlangsung lama. Persoalan yang terus terjadi adalah tidak adanya kesepakatan harga antara perusahaan dan warga. Sejak tahun 2022, upaya negosiasi selalu menemui jalan buntu.

Meskipun demikian, PT Masmindo Dwi Area telah berhasil membebaskan 1.100 hektar lahan dari target 1.400 hektar. Saat ini, perusahaan tambang emas itu sedang melakukan land clearing atau pembersihan lahan yang telah dibebaskan untuk mengejar target operasional mereka.

“MDA telah melalui tahapan yang diperlukan, mulai dari sosialisasi, rencana kompensasi tanam tumbuh dan lahan, hingga kajian penilaian harga pasaran yang dilakukan oleh penilai independen KJPP RAB. Upaya negosiasi dan mediasi terus dilakukan dengan melibatkan pemerintah desa dan kabupaten, namun hingga kini masih menemui kebuntuan,” demikian pernyataan resmi dari PT Masmindo Dwi Area yang diterima redaksi Kabardedikan, Kamis, 19 September 2024.

Perusahaan juga menjelaskan bahwa telah menawarkan ganti rugi hingga Rp 700 juta per hektar, angka yang menurut mereka sangat tinggi untuk lahan di dataran tinggi seperti Kecamatan Latimojong. Mereka juga menyebutkan, ini merupakan harga tertinggi se-Sulawesi, berdasarkan riset dari Celebes Research Centre.

Terkait lahan milik Cones, pihak perusahaan berpendapat bahwa wilayah tersebut berada dalam area konsesi berdasarkan kontrak karya mereka dan dapat digunakan untuk keperluan operasional tambang.

Sementara itu, uang ganti rugi atas lahan yang belum mencapai kesepakatan telah dititipkan di bank. Proses ini disebut sebagai konsiliasi, sebuah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, dengan tujuan mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Namun menurut praktisi hukum Isma Kahman, konsiliasi hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan swasta. Ia mencontohkan kasus pekerjaan jalan, di mana sebagian warga setuju lahannya dibebaskan, sementara sebagian lainnya belum, sehingga uang ganti rugi dititipkan di bank.

Dalam kasus yang dialami oleh Cones, Dosen Hukum Universitas Andi Djemma (Unanda Palopo) ini mengatakan bahwa pentingnya pendekatan humanis oleh perusahaan, karena persoalan pembebasan lahan tidak hanya soal uang, tetapi juga menyangkut kehidupan warga yang terdampak.

“Perusahaan seharusnya membuat kesepakatan atau kontrak yang memberikan jaminan hidup bagi warga setelah lahan mereka dibebaskan, seperti peluang pekerjaan atau beasiswa bagi anak-anak mereka,” ujarnya kepada Kabardedikan, Jumat, 20 September 2024.

Isma menambahkan bahwa meskipun warga berada dalam posisi yang lemah, mereka tetap memiliki daya tawar. Oleh karena itu, penting adanya kontrak yang menjamin kehidupan mereka pasca pembebasan lahan.

“Jika hanya bergantung pada uang ganti rugi, sampai kapan warga bisa bertahan hidup? Kebun mereka telah diambil, sehingga diperlukan pendampingan serta stimulan, sebelum dan sesudah proses pembebasan lahan agar kehidupan warga tetap terjamin,” pungkasnya.

Sementara itu Kepala Teknik Tambang (KTT) Masmindo, Mustafa Ibrahim menyatakan akan selalu berupaya melakukan pendekatan dengan cara-cara yang terbaik dan terbuka, dengan harapan bahwa seluruh proses dapat berjalan lancar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami juga berharap bahwa proyek ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat, sekaligus membuka peluang lapangan kerja dan peluang peningkatan ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya. (Jayanto)

Komentar