Malamnya Pesta, Paginya Longsor: Kisah Warga Terjebak di Latimojong

Kabardedikan.com, Luwu – Malam itu, pesta bahagia, keesokan paginya, malapetaka menerpa. Haryono, dengan tergesa-gesa, meninggalkan tempat tinggalnya setelah seorang warga membangunkannya. Tak jauh dari sana, longsor telah menimpa sebuah rumah, menelan korban jiwa satu keluarga.

Ono, begitu dia disapa, warga Kecamatan Larompong dan juga seorang jurnalis Kabaredikan, dengan mata yang masih terasa berat sisa kantuk semalam, bergegas meninggalkan rumahnya.

Dia tak pernah menyangka bahwa kebahagiaan semalam akan berubah menjadi duka setelah longsor menghantam Desa Buntu Sarek, Kecamatan Latimojong. Dini hari, ketenangan tidurnya terganggu oleh kejadian yang tidak terduga.

“Saya datang ke Desa Buntu Sarek untuk menghadiri pernikahan ipar saya pada hari Kamis malam,” kata Ono.

Sejak Kamis, 2 Mei 2024, katanya, hujan sering mengguyur desa itu, tetapi masih dalam batas wajar. Namun, dini hari Jumat, 3 Mei 2024, semuanya berubah menjadi bencana. Longsor terjadi di mana-mana.

Ono menceritakan bahwa dia melihat orang-orang berhamburan ke jalan-jalan, mencari korban yang tertimbun longsor, tetapi sia-sia. Akhirnya, dia diarahkan untuk mengungsi ke Mesjid.

Di Mesjid Buntu Sarek, Ono dan warga lainnya menghabiskan tiga hari tiga malam. Mereka merasa tak berdaya, ketakutan, trauma, dan gelisah masih menghantuinya.

Hujan terus mengguyur Desa Buntu Sarek selama tiga hari itu, dan akses jalan tertutup oleh longsor. “Kami tidak bisa pergi kemana-mana karena jalan terputus oleh longsor dan hujan terus menerus. Kami merasa takut untuk bergerak,” akunya

Akhirnya, setelah berdiskusi, Ono dan sepuluh warga lainnya memutuskan untuk meninggalkan mesjid tersebut.

“Kami memutuskan untuk meninggalkan mesjid dan mencari tempat evakuasi yang lebih aman di Desa Rante Balla, tetapi jauh akhirnya kami putuskan ke Desa Kadundung, karena situasinya semakin mencekam,” kata Ono.

Mental Ono benar-benar diuji, dia tidak pernah membayangkan akan menghadapi situasi genting seperti ini. Peristiwa tiga hari yang lalu masih menghantuinya, dan kekhawatiran untuk keluarganya selalu ada di benaknya.

Ono pergi ke Desa itu dengan menggunakan sepeda motor, tetapi kembali dengan berjalan kaki. Perjalanan pulangnya melelahkan — melewati hutan, lumpur akibat longsor, hujan terus-menerus, dengan jarak tempuh 30 km menuju Desa Kandundung.

Tubuhnya lelah, tetapi semangatnya masih ada untuk melangkah pulang. Ono tidak akan melupakan peristiwa mencekam itu, meski telah bersama keluarganya. Dia berpesan, “Setiap napas adalah kesempatan baru, olehnya itu hargailah kehidupan,” ujar Ono. (Jayanto)

Komentar